Upacara Selapanan, Itu Musyrik ?
( Mengkaji perlunya seluruh prosesi adat dalam
pelaksanaan Upacara Selapanan dan kaitannya dengan kaidah Islam)
Oleh :
Anggalih Bayu Muh Kamim
SMA N 2 Ngaglik
2014
Kata Pengantar
Puji
syukur kami kehadiratkan ke hadapan Allah yang Maha Kuasa. Karena berkat rahmat
dan karunia-Nya dapat disusunlah karya tulis dengan judul “Upacara Selapanan,
itu Musyrik ? “. Kami berharap dengan disusunnya karya tulis ini, dapat
digunakan sebagai titik awal dan titik acuan dilaksanakannya pelestarian budaya
secara menyeluruh . Dan kami sebagai penulis tentunya mengharapkan adanya
kritik dan saran agar dalam penulisan karya tulis ini, karena kesempurnaan
hanyalah milik Allah swt. Dan mudah-mudahan tulisan kami ini bermanfaat. Amien
Bab 1 Pendahuluan
Upacara Selapanan merupakan salah satu warisan
tradisi leluhur yang patut dijaga. Di tengah kemajuan zaman upacara Selapanan
masih berusaha dipertahankan dan dilestarikan. Hal ini mengingat nilai-nilai
luhur( nilai adiluhung) dari pelaksanaan Upacara Selapanan yang masih patut
dipertahankan. Misalnya mengenai nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan,
kesetiakawanan dan wujud syukur yang tinggi kepada Tuhan karena telah
memberikan karunia yang besar. Namun, dalam pelaksanaan upacara Selapanan masih
menggunakan tata cara tradisi yang berbau zaman Hindu-Budha. Contohnya adalah
dipertahankannya pemberian sesaji dalam prosesi upacara Selapanan.
Hal ini tentunya sangat bertentangan(
kontraproduktif) dengan nilai-nilai islami yang dianut sebagian besar masyarakat
Yogyakarta. Karena dalam Islam hal-hal tersebut dikatakan “ Musyrik”. Namun
kalangan masyarakat beranggapan bahwasannya hal ini tetap dilestarikan untuk
menjaga keasliannya. Memang islam memaklumi adanya upaya pelestarian budaya.
Karena Tuhan menciptakan manusia menjadi berbagai suku, ras, agama agar saling
mengenal. Dengan begitu agama, islam pada khususnya memandang perlu adanya
pelestarian budaya. Karena budaya merupakan gambaran atau per lambang jati diri suatu masyarakat. Untuk itu lah penulis
berusaha mengkaji perlunya pelestarian pemberian sesaji pada upacara Selapanan
dan kaitannya dengan kaidah islam.
1. Bagaimana
islam memandang perlunya pelestarian budaya ?
2. Bagaimana
dampak dihilangkannya salah satu prosesi dalam suatu tradisi ?
1. Untuk
mengetahui pandangan islam terhadap perlunya pelestarian budaya
2. Untuk
mengetahui dampak dihilangkannya salah satu prosesi dalam suatu tradisi
Upacara Selapanan adalah upacara adat yang
diselenggarakan pada waktu seorang bayi menginjak umur tiga puluh lima hari. Upacara
Selapanan biasannya diisi dengan upacara pencukuran dan pemotongan kuku
jari-jari si bayi. Para pinisepuh diundang hadir untuk berkendaraan dan
merestui. Upacara yang berkaitan dengan kelahiran dan masa bayi biasannya
diselenggarakan di tempat menetap si wanita yang telah melahirkan bayi. Kalau
ayah-ibu telah menempati rumanya sendiri, maka di rumahnya itu lah
diselenggarakan upacara kelahiran dan masa bayi. Kalau mereka tinggal di rumah
orang tua suami di sana pulalah diselenggarakan. Para penyelenggara teknis
upacara yang berkaitan dengan kelahiran dan masa bayi, diutamakan para ibu yang
telah memiliki pengalaman dalam masalah kelahiran dan pemeliharaan bayi.
Dukun dipandang sebagai pihak yang menguasai
pengetahuan yang mendalam tentang ketepatan dan kelengkapan sesaji. Dan segala
seluk beluk mengenai penyelenggaraan upacara secara sempurna. Maka
kepadanya-lah diserahkan tanggung jawab memimpin dan mengamati. Upacara
Kelahiran dan masa bayi diselenggarakan untuk keselamatan si bayi, ibunya,
segenap anggota keluarganya dan anggota masyarakat disekitarnya.
Ada pun perlengkapan yang harus disiapkan untuk
upacara Selapanan adalah Sega tumpeng janganan, jenang abang jenang putih,
jenang baro-baro, jajan pasar, kembang setaman, inthuk-inthuk, wujudnya ialah
tumpeng kecil diconthong dengan daun pisang, pada ujungnya ditancapkan sundukan bawang merah dan lombok
merah, pada sisinya ditancapkan sekar mancawarni. Tumpeng kecil tersebut
diletakkan di sebuah tempurung kelapa
yang diberi kaki. Selanjutnya dipersiapkan pula ; telur ayam mentah, kemiri
gepak dan kluwak.
Sesuai dengan namanya upacara Selapanan
diselenggarakan pada waktu bayi berusia 35 hari. Kalau si bayi lahir pada hari
Selasa Legi, maka pada Selasa Legi berikutnya, pastilah tepat, 35 hari. Pada
hari tepat weton atau hari( gabungan sapta wara dan panca wara) kelahiran bayi
yang pertama, dilangsungkanlah upacara Selapanan. Pada saat ulang weton yang
pertama itu, orang tua si bayi mengadakan upacara selamatan. Para tetangga
diundang hadir di dalam penyelenggaraan upacara, diharapkan demi keselamatan
bayi. Sesaji perlengkapan pada upacara Selapanan yang disediakan untuk kenduri
wujudnya; nasi ambengan, nasi wuduk, ingkung ayam, nasi among.
Seperti
halnya pelaksanaan berbagai upacara lain, upacara kelahiran dan masa bayi
ternyata penuh dengan makna yang tersirat, misalnya :
a. Wanita
yang akan melahirkan dibaringkan membujur ke arah barat. Maknanya ialah agar
supaya si bayi yang dilahirkan, begitu keluar dari perut ibunya dia menyongsong
sang Surya, yaitu sumber kehidupan.
b. Semua
pintu dan simpul harus dibuka, maknanya ialah agar supaya proses kelahiran si
bayi dapat berlangsung dengan lancar,
tak ada halangan satupun
c. Menjelang
kelahiran, si suami nyandang,
maknanyabialah memberikan bantuan moril pada isterinya, seakan diabturut serfa
merasakan penderitaan berat isternya. Partisipasi pihak suami ini sangat
diperlukan pada saat isterinya menggerakkan kekuatan waktu melahirkan.
d. Kawah dan ari-ari dianggap saudara si bayi, sebab
lahir dari kandungan yang sama. Kawah lahir lebih dahulu dari si bayi, maka disebut Kakang Kawah, dianggap lebih tua dari
si bayi. Dan ari-ari lahir kemudian
setelah si bayi. Maka dianggap sebagai saudara muda bagi si bayi, dan disebut Adhi Ari-ari.
e. Begitu
lahir, si bayi digebrag, maknanya
ialah agar ia kelak tak mudah terkejut waktu dewasa.
f. Lawe
wenang direntangkan memagari rumah.
Maknanya ilah memagari rumah itu dari gangguan gaib yang mungkin akan menganca
keselamatan seisi rumah, terutama si bayi dan ibunya.
g. Duri
dan daun-daunan berduri dipasang pada penjuru-penjuru rumah. Maknanya ialah
menolak gangguan bencana gaib
h. Corang-corengan
hitam-putih pada ambang pintu. Maknanya ialah untuk menolak pengaruh jahat yang
akan masukj melalui pintu itu.
i.
Dolanan
yang
diletakkan di dekat tempay tidur si bayi. Maknanya ialah agar supaya menarik
perhatian makhluk jahat yang datang akan mengganggu keselamatan si bayi,
sehingga dengan adanya dolanan itu, dia tidak jadi mengganggu si bayi
j.
Tumbak
sewu
yang diletakkan di dekat tempat tidur si bayi. Maknanya ialah untuk menolak
makhluk gaib yang datang, yang mungkin akan mengganggu keselamata si bayi.
Dengan adanya tumbak seribu itu, maka makhluk gaib tidak akan berani mendekati
si bayi
k. Anak-anakan diletakkan
di tempat tidur si bayi (sedang si bayi dipangku bergantian oleh para orang
tua-tua yang hadir berjaga-jaga semalam suntuk. Maknanya ialah untuk
mengelabuhi makhluk gaib yang datang.
l.
Daun
awar-awar dipasang pada penjuru-penjuru rumah. Maknanya ialah untuk
menghalangi bencana gaib yang datang agar tak masuk ke dalam rumah
m. Semalam
suntuk si bayi dipangku berganti-ganti oleh para orang tua. Melambangkan
perlindungan yang diberikan oleh orang tua-tua itu berganti-ganti, dan maknanya
ialah agar si bayi terlindung dasri bencana gaib, selamat dari gamggguan
makhluk-makhluk halus yang mungkin akan datang menyerang si bayi.
Kata
agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti
kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi
fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya
tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi
memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya
dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan
itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai
kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian
itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti
mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian
bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal)
dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)
Agama
itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam
diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini
ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada
hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk
menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam
juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4).
Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin
manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis,
agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan
yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan
Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab
agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat
seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih
memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau
kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua
pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan
sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem
keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Setiap bangsa di dunia
memiliki ciri dan adat kebiasaan yang disebut kebudayaan. Kebudayaan merupakan
hasil karya dan pengetahuan yang dimiliki manusia yang terbentuk atas beberapa
unsur. Unsur-unsur tersebut ada yang memberikan sifat khusus atau ciri yang
berbeda antara suatu daerah (bangsa) dengan daerah (bangsa) lain. Menurut
Koentjaraningrat (1974) : “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.” Suatu bangsa tidak terlepas
dari pengaruh akibat modernisasi dengan pembangunan disegala bidang juga dapat
membawa pengaruh dalam bidang kebudayaan. Hal ini membuat masyarakat di
negara-negara berkembang (Indonesia) berada pada masa transisi yang ditandai
dengan belum sepenuhnya menerima nilai-nilai baru sedangkan nilai-nilai lama
atau tradisional sudah mulai ditinggalkan. Masuknya budaya asing membuat
masyarakat mudah menerima kebudayaan itu tanpa dicerna terlebih dahulu. Tanpa
disadari, kebudayaan tradisional yang sudah lama dipegang dan dihayati mulai
dilepaskan satu-persatu dan ditelan oleh kebudayaan asing (Kebudayaan Barat).
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Selain itu juga, menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,
norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Jika kita teliti budaya
Indonesia, maka terdiri dari 5 lapisan.
Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan
Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah
agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh
nenek moyang yang telah tiada atau lebih
setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di
Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah
berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang
sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian
dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi
bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan
nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang
telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman
bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan
bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh.
Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adalah
agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan
keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas
diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah
agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan
melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap
mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang
jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia.
Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah
agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih
dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti
kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa
syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu
memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja
telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan
pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi
budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama
untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Melihat dari segi
bahasa bahwa tujuan utama agama adalah menciptakan masyarakat yang beradab dalam
kedamaian dan ketentraman, hal ini membuktikan bahwa pelestarian budaya tak
perlu dipermasalahkan. Bahkan harus diapresiasi karena jika kita kehilangan
kebudayaan asli kita, maka kita sama dengan membuang jati diri kita sendiri.
Untuk itu lah pelestarian tradisi dalam upacara Selapanan seharusnya tak
terlalu dipermasalahkan.
Dalam upacara adat masa
kini masih sering dipertahankan prosesi pemberian sesaji sebagai salah satu perlengkapan
upacara adat tersebut. Beberapa kalangan ulama memandang hal tersebut
bertentangan dengan kaidah agama, karena mengarah kepada kemusyrikan. Namun di
lain sisi jika prosesi pemberian sesaji tersebut dihilangkan akan menimbulkan
beberapa kerugian.
Yang pertama, karena
saat ini Upacara adat adalah salah satu aset pariwisata yang sangat
menjanjikan, maka jika salah satu prosesi di dalamnya dihilangkan tentu akan
mengurangi keunikannya. Padahal sektor pariwisata adalah salah satu sektor
penting penunjang perekonomian negara, maka jika wisatawan merasa suatu hal
sudah tidak unik, maka untuk apa wisatawan menikmatinya. Tentunya hal ini dapat
mengurangi pemasukan dari sektor pariwisata.
Yang Kedua, sesuai
dengan tujuan utama pelestarian budaya yang berusaha menjaga agar suatu tradisi
terus terjaga keasliannya. Maka jika salah satu komponen dalam suatu tradisi
dihilangkan, akan menyebabkan berkurangnya nilai keaslian dari tradisi
tersebut. Dan pada akhirnya, hal ini justru mengingkari tujuan utama pelestarian
budaya.
Yang Ketiga, Jika salah
satu komponen tradisi dihilangkan maka akan timbul suatu kecanggungan. Karena
masyarakat pelaksana tradisi tersebut perlu mengadakan penyesuaian yang rumit.
Dan sesuai kata Soerjono Soekanto, untuk merubah suatu tradisi itu butuh waktu
lama dan hanya bisa secara bertahap.
-
Kesimpulan :
Sudah selayaknya pelestarian budaya
sesuai bentuk aslinya tak perlu dipermasalahkan. Karena meskipun ada beberapa
unsur yang bertentangan dengan kaidah agama, namun itu semua kembali kepada
siapa yang melaksanakannya ?
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : PT. Ranaka Cipta.
Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Upacara
Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Poesponegoro,
Marwati Djoened; dan Nugroho Notokusumo. 1992. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
21.46
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar