BSM, Perlukah !
Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim
Bantuan siswa miskin( BSM) yang muncul sebagai produk
kebijakan pemerintah pasca kenaikan harga BBM bulan juli 2013 lalu, tampaknya
hanyalah sekedar kompensasi belaka. BSM dapat diibaratkan sebagai obat penenang sementara. Hal ini dikarenakan
program ini muncul pasca kenaikan harga BBM. BSM digunakan sebagai pengalih
perhatian oleh pemerintah agar warga yang miskin tidak menuntut haknya.
Kemunculan BSM juga justru menyebabkan program pemerintah di bidang pendidikan
menjadi terbengkalai.
Pemberian BSM ini bertujuan untuk memberikan
layanan pendidikan bagi penduduk miskin untuk dapat memenuhi biaya kebutuhannya
di bidang pendidikan agar siswa yang orang tuanya tidak mampu atau `miskin
tetap memperoleh pendidikan. Namun kenyataannya program ini hanya
direalisasikan di Pulau Jawa. Sehingga
dapat dilihat bahwa siswa tak berpunya di luar Jawa tidak diperhatikan. Padahal
sebelum muncul program BSM, pemerintah telah menetapkan program sekolah
gratis bagi siswa dari keluarga tidak
mampu. Akibatnya menyebabkan program sekolah gratis ini tidak terealisasikan.
Sebenarnya program sekolah gratis lebih memberikan dampak positif yang lebih besar dari pada program BSM. Hal
ini dikarenakan siswa yang akan mendapatkan BSM harus memenuhi kriteria
tertentu dan beberapa persyaratan. Dan juga
dana bantuan untuk siswa jumlahnya terbatas. Ini menggambarkan bahwasanya program BSM
cenderung bersifat pilih kasih.
Padahal
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31
ayat 4 dijelaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Ayat ini diperkuat oleh pasal 31
ayat 2 yang berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. Hal ini mengisyaratkan bahwa memang sudah selayaknya
pemerintah menggratiskan biaya sekolah
bagi seluruh pelajar di Indonesia. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan program
BSM yang cenderung pilih kasih, karena tidak semua siswa miskin mendapatkan
BSM. Contohnya saja untuk mendapatkan
BSM bagi jenjang pendidikan SMP, untuk mendapatkan BSM siswa harus memenuhi
kriteria seperti orang tua siswa terdaftar sebagai
peserta PKH, memiliki kartu miskin, yatim dan/atau piatu, Pertimbangan lain (misalnya – kelainan fisik, korban
musibah berkepanjangan, anak korban PHK, atau indikator lokal lainnya).
Hal ini memperlihatkan bahwasanya
program BSM tidak efisien. Selain itu, program BSM juga menyebabkan pencairan
dana bantuan operasional sekolah( BOS ) menjadi terhambat. Hal ini dikarenakan
pihak sekolah sibuk mendata dan menyaring siswa yang pantas mendapatkan BSM.
Bukannya menghitung anggaran operasional dan kebutuhan sekolah dalam pelaksanaan
kegiataan belajar-mengajar. Akibatnya kegiatan belajar-mengajar menjadi
terganggu karena ketidakadaan anggaran yang disusun. Sekolah menjadi
memundurkan jadwal ujian tengah semester, ujian akhir semester dari tanggal
pelaksanaan yang sebenarnya. Gaji guru dan karyawan juga menjadi tidak terurus
karena tidak adanya prioritas pengedepanan penyusunan anggaran sekolah. Anehnya
lagi dalam hal pembagian anggaran, dana untuk program BSM lebih besar daripada
dana BOS. Padahal BOS adalah pelancar kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Akibat dana bantuan yang sedikit, menyebabkan orang tua siswa terpaksa mengeluarkan uang tambahan untuk operasional
kegiatan belajar-mengajar. Hal ini tentunya melenceng dari tujuan yang sebenarnya.
Pemerintah yang seharusnya
berkewajiban untuk mensejahterakan warganya dengan menyusun kebijakan yang
bermanfaat, justru menggunakan pangkat dan jabatan yang dimilikinya untuk
kegiatan negatif. Mereka tak malu menggelapkan uang negara dan menyesengsarakan
rakyatnya sendiri, hanya demi kesenangan pribadi dan golongannya. Maka
seharusnya pemerintah sebagai panutan rakyat seharusnya tidak hanya menebar
janji saat pencalonan dirinya. Tetapi juga harus berani membuktikan janjinya
itu. Atau kalau tidak semua itu hanyalah omong kosong belaka, sehingga justru
membuat rakyat tidak percaya.
Kebijakan yang disusun pemerintah
seharusnya bukan menjadi obat penenang
sementara belaka. Tetapi kebijakan pemerintah haruslah pro rakyat. Maka
agar segala kebijakan yang disusun
bersifat pro rakyat. Pemerintah terlebih dahulu harus meminta masukan dari
rakyat. Dengan adanya sinergi yang kuat antara pemerintah dan rakyatnya. Maka
akan terciptalah keadilan sosial yang sebenar-benarnya.
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
07.45
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar