Jenis
Wayang di Indonesia
Wayang Ajen
Wayang Ajen adalah hasil kolaborasi wayang golek,
wayang kulit, wayang dari bahan fiberglass, tari, dan komposisi musik dalam
sebuah pertunjukan. Dalam pementasannya, didukung juga penataan artistik
panggung, keserasian tata cahaya, serta kostum harmonis.
Wayang Ajen mendapatkan pengakuan sebagai bentuk
pertunjukan kesenian bagian dari warisan budaya tak benda Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNESCO). Wayang ajen dianggap sebagai salah satu bentuk terobosan kreatif
mengembangkan kesenian dan tradisi wayang di dunia.
Wayang
arja
Wayang arja adalah sebuah wayang ciptaan baru yang diciptakan pada tahun 1975 oleh dalang I Made Sidja dari desa Bona, atas dorongan almarhum I Ketut
Rindha. Permunculan wayang ini banyak dirangsang oleh kondisi kehidupan
Dramatari Arja yang ketika itu memprihatinkan, didesak oleh Drama Gong.
Walaupun masih tetap mempertahankan pola pertunjukan wayang tradisional Bali, Wayang Arja menampilkan lakon-lakon yang bersumber
pada cerita Panji (Malat).
Dalam Wayang Arja, peran utama yang memegang pokok
cerita adalah tentang kerajaan-kerajaan yang terbagi dalam sisi
"kanan" dan "kiri". Kerajaan-kerajaan yang terangkum dalam
sekutu "kanan" antara lain adalah seperti Daha, Koripan, Singasari, dan Gegelang, sementara pihak "kiri"-nya adalah Lasem Metaum, Pajang Mataram, Cemara,
dan Pajarakan[1].
Dalam wayang ini plot dramatik disusun hampir sama dengan yang
terdapat di dalam Dramatari Arja. Oleh sebab itu pertunjukan Wayang Arja
berkesan pagelaran Arja dalam bentuk Wayang Kulit. Pertunjukan Wayang Arja
melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari:
- 1
orang dalang
- 2
orang pembantu dalang
- 9
orang penabuh Gamelan Gaguntangan
yang berlaras pelog dan slendro.
Di antara lakon-lakon yang biasa ditampilkan antara
lain adalah:
- Waringin
Kencana
- Klimun
Ilang Srepet Teka
- Pakang
Raras
- Banda
Kencana
Kekhasan pertunjukan Wayang Arja terasa pada seni suara
vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat yang biasa dipergunakan dalam pertunjukan
Dramatari Arja. Juga, bentuk wayangnya menirukan tokoh-tokoh utama dalam Arja
dengan segala atributnya. Wayang Arja kurang begitu populer di Bali, walaupun
dalang yang biasa membawakan wayang ini terdapat hampir di seluruh Bali.
Wayang
beber
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di
daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa
lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita
wayang baik Mahabharata maupun Ramayana.
Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa
pada masa kerajaan Majapahit.
Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas,
kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita.
Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan
di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan
dan memainkan wayang beber ini.[1]
Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang
beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan
bentuk bentuk yang bersifat ornamen yang dikenal sekarang, karena ajaran Islammengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia,
hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada.
Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan
ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.
Salah satu Wayang Beber tua ditemukan di
Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara
turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari
keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang
harus dipelihara. Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan
baik dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo
Gunungkidul.
Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat
pada tahun 1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo
(1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging
Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber juga memuat
banyak cerita Panji, yakni
Kisah Cinta Panji Asmoro Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji
Putri Jenggolo.
Wayang
Calonarang
Wayang Calonarang juga sering disebut
sebagai Wayang Leyak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak
mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwadan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang
yang mengkhususkan lakon-lakon dari ceritera Calonarang.
Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan,
wayang Calonarang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan
wayang kulit tradisional Bali (Wayang parwa).
Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan
sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari:
- 1
orang dalang
- 2
orang pembantu dalang
- 9
orang penabuh
Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam
pementasan wayang Calonarang ini adalah:
- Katundung
Ratnamangali
- Bahula
Duta
- Pangesengan
Beringin
Kekhasan pertunjukan wayang Calonarang terletak pada
tarian sisiya-nya dengan teknik permainan ngalinting dan adegan
ngundang-ngundang di mana sang dalang membeberkan
atau menyebutkan nama-nama mereka yang mempraktekkan pangiwa. Hingga kini
wayang Calonarang masih ada di beberapa Kabupaten di Bali walaupun popularitasnya masih di bawah
wayang Parwa.
Wayang
cupak
Wayang Cupak termasuk wayang kulit Bali yang sangat langka, adalah pertunjukan wayang
kulit yang melakonkan cerita Cupak Grantang yang mengisahkan perjalanan hidup dari dua
putra Bhatara Brahma yang sangat berbeda wataknya.
Bentuk pertunjukan wayang ini tidak jauh berbeda
dengan wayang kulit Bali lainnya hanya saja tokoh-tokoh utamanya terbatas pada
Cupak dan Grantang, Men Bekung dan suaminya Pan Bekung, Raksasa Benaru, Galuh
Daha, Prabu Gobagwesi dan lain sebagainya.
Pertunjukan wayang Cupak pada dasarnya masih tetap
berpegang kepada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (wayang Parwa).
Pagelaran Wayang Cupak melibatkan sekitar 12 orang
pemain yang terdiri dari:
- 1
orang dalang
- 2
orang pembantu dalang
- 9
orang penabuh gamelan batel gender wayang.
Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam
pementasan wayang Cupak, adalah:
- Matinya
Raksasa Benaru
- Cupak
Dadi Ratu
- Cupak
Nyuti Rupa (Cupak ke sorga)
Kekhasan pertunjukan wayang Cupak ini terasa pada
seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat (ginada) dan
penampilan tokoh-tokoh Bondres yang sangat ditonjolkan. Wayang Cupak sangat
populer di daerah Kabupaten Tabanan.
Wayang
Dupara
Wayang Dupara dibuat pada tahun (± 1830-an M) untuk
cerita kerajaan dari Demak sampai dengan kerajaan Surakarta.
Wayang
gambuh
Wayang Gambuh adalah salah satu jenis wayang Bali yang
langka, pada dasarnya adalah pertunjukan wayang kulit yang
melakonkan ceritera Malat, seperti wayang panji yang
ada di Jawa.
Karena lakon dan pola acuan pertunjukan adalah Dramatari Gambuh, maka
dalam banyak hal wayang Gambuh merupakan pementasan Gambuh melalui wayang
kulit. Tokoh-tokoh yang ditampilkan ditransfer dari tokoh-tokoh Pegambuhan,
demikian pula gamelan pengiring dan bentuk ucapan-ucapannya.
Konon perangkat wayang Gambuh yang kini tersimpan di
Blahbatuh adalah pemberian dari raja Mengwi yang bergelar I Gusti Agung Sakti
Blambangan, yang membawa wayang dari tanah Jawa (Blambangan) setelah menaklukan
raja Blambangan sekitar tahun 1634.
Almarhum I Ketut Rinda adalah salah satu dalang wayang Gambuh angkatan terakhir
yang sebelum meninggal sempat menurunkan keahliannya kepada I Made Sidja dari
(Bona) dan I Wayan Nartha (dari Sukawati).
Wayang
gedog
Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang
yang memakai cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak
zaman Majapahit.
Bentuk wayangnya hampir sama dengan wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu
memakai tekes dan rapekan. Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan
gelung keling. Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai
gantinya, terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara
orang-orang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar,
terdapat pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo), seperti Klana Siwandana,
kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara dan Daeng Purbayunus, dari Siam
seperti Prabu Maesadura, dan dari negara Bali.
Wayang gedog yang kita kenal sekarang, konon
diciptakan oleh Sunan Giri pada tahun 1485 (gaman naga kinaryeng bathara) pada
saat mewakili raja Demak yang sedang melakukan penyerbuan ke Jawa Timur (invasi
Trenggono ke Pasuruan).
Wayang Gedog baru memakai keris pada zaman
panembahan Senapati di Mataram. Barulah pada masa Pakubuwana III di
Solo wayang gedog diperbarui, dibuat mirip wayang purwa, dengan nama Kyai
Dewakaton.
Dalam pementasannya, wayang gedog memakai gamelan
berlaras pelog dan memakai punakawan Bancak dan Doyok untuk tokoh Panji tua ,
Ronggotono dan Ronggotani untuk Klana, dan Sebul-Palet untuk Panji
muda.Seringkali dalam wayang gedog muncul figur wayang yang aneh, seperti
gunungan sekaten, siter (kecapi), payung yang terkembang, perahu, dan
lain-lain.
Di Surakarta, tinggal ada dua dalang wayang gedog,
yaitu Bp. Subantar (SMKI/ Konservatori) dan Bp. Bambang Suwarno, S.Kar (STSI)
yang juga salah satu desainer wayang gedog yang masih bertahan sampai sekarang.
Wayang
Kancil
Pencipta Wayang Kancil adalah bangsa Cina bernama
Babah Bo Liem, tahun 1925. Pembuat Wayang Babah Liem Too Hien. Pada kiri dan
kanan kelir digambar hutan, di tengah ada bundaran tanpa gambar untuk paseban
kalau wayang keluar.
Wayang Berupa binatang buruan, binatang merangkak,
binatang merayap, binatang yang terbang yang termasuk dalam dongeng kancil.
Wujud orang hanya sedikit. Jumlah wayang hanya 100 buah. Dalang yang mampu
menjalankan wayang hanya dua orang:
1. Ki Lagutama dari Kampung Badran Mangkubumen. Sala
2. Ki Sutapradangga dari kampung Sangkrah. Sala.
Wayang
krucil
Wayang krucil adalah kesenian khas Ngawi, Jawa
Timur dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut
dengan Wayang Krucil.
Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan bahan kayu pipih (dua dimensi)
yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik.
Di daerah Jawa Tengah wayang
krucil memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog.
Tokoh-tokohnya memakai dodot
rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan,
di Jawa Timurtokoh-tokohnya
banyak yang menyerupai wayang kulit purwa , raja-rajanya bermahkota dan memakai
praba. Di Jawa Tengah,
tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
Cerita yang dipakai dalam wayang krucil umumnya
mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan wayang krucil
memakai ceritawayang purwa dan wayang menak,
bahkan dari babad tanah jawa sekalipun.
Gamelan yang
dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana,
berlaras slendro dan
berirama playon bangomati (srepegan).
Namun, ada kalanya wayang krucil menggunakan gendhing-gendhing besar.
Wayang
madya
Wayang Madya adalah Wayang kulit yang
diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang Gedog.
Cerita Wayang Madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah
satu cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya
tidak sempat berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran.
Cerita Wayang Madya menceritakan sejak wafatnya
Prabu Yudayana sampai Prabu Jayalengkara naik tahta. Cerita Wayang Madya
ditulis oleh R.Ngabehi Tandakusuma dengan judul Pakem Ringgit
Madya yang terdiri dari lima jilid, dan tiap jilid berisi 20 cerita atau
lakon.
Wayang
parwa
Wayang Parwa adalah Wayang kulit yang
membawakan lakon - lakon yang bersumber dari wiracarita Mahabrata yang
juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa.
Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang paling populer dan terdapat di
seluruh Bali.
Wayang Parwa dipentaskan pada malam hari, dengan memakai kelir dan lampu
blencong dan diiringi dengan Gamelan Gender Wayang.
Walaupun demikian, ada jenis Wayang Parwa yang waktu
penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu
upacara keseluruhan.
Wayang Parwa dipentaskan dalam kaitannya dengan
berbagai jenis upacara adat dan agama walaupun pertunjukannya sendiri berfungsi
sebagai hiburan yang bersifat sekuler. Dalam pertunjukannya, dalang Wayang
Parwa bisa saja mengambil lakon dari cerita Bharata Yudha atau
bagian lain dari cerita Mahabharata. Oleh sebab itu jumlah lakon Wayang Parwa adalah
paling banyak.
- Gugurnya Bisma
- Gugurnya Drona
- Gugurnya
Abhimanyu / Abimanyu
- Gugurnya Karna
- Gugurnya Salya
- Gugurnya Jayadrata
- Sayembara Dewi Amba
- Pendawa - Korawa Aguru
- Pendawa - Korawa Berjudi
- Sayembara Drupadi
- Lahirnya Gatotkaca
- Aswameda
Yadnya
- Kresna Duta
- Matinya Supala
- Dan
lain-lain.
Wayang Parwa biasanya didukung oleh sekitar 7 orang
yang terdiri dari:
- 1
orang dalang
- 2
orang pembantu dalang
- 4
orang penabuh gender wayang (yang memainkan sepasang pemade dan sepasang
kantilan)
Wayang
Sadat
Suryadi Warnosuharjo, 48 tahun (1986) Klaten, Jawa
Tengah, selaku pencipta dan sekaligus dalang wayang Sadat, menyatakan “kalau umat
Nasrani memiliki wayang Wahyu, maka umat Islam mempunyai wayang Sadat ”. Wujud
wayang kulit Sadat, jelas bukan berbentuk wayang Purwa ataupun wayang Gedog,
juga bukan berbentuk wayang Menak atau wayang Beber. Bentuk wayang Sadat
ber-wanda mendekati realistis dan hampir serupa dengan wayang Suluh atau wayang
Wahyu. Bahkan sebuah gending utama sengaja diciptakan untuk pergelaran tersebut
bernama gending Istigfar.
Suryadi menciptakan wayang Sadat tersebut pada
pertengahan tahun 1985 sebagai imbangan bagi umat Islam di Jawa yang berkaitan
dengan pengembangan sejarah agama Islam dalam penyebarannya oleh para Wali, di
samping itu untuk melanjutkan roh Islam yang pernah terdapat dalam sejumlah
gubahan pakeliran wayang purwa di masa zaman Demak antara lain cerita Jimat
Kalimusadha. Kata Sadat berasal dari kata Syahadattain atau sebagai akronim
dari kata dakwah dan Tabligh. Misi pergelarannya bernafaskan dakwah agama Islam
serta melanjutkan tradisi para Wali yang pernah berdakwah pada perayaan
Sekatenan di zaman kerajaan Demak. Sebagaimana diketahui, Sekatenan merupakan
pembacaan Syahadat secara massal.
Wayang
Suluh
Wayang Suluh adalah wayang yang terbuat dari kulit
dan berbentuk manusia biasa, dengan tokoh wayang keseharian, misalnya P Lurah,
P Haji, Ibu Guru, Bapak Guru, petani, saudagar, anak sekolah, mahasiswa dan
lainya. Ceritanya pun tentang permasalahan sehari-hari dalam keluarga,
masyarakat,dan kehidupan masyarakat pedesaan, sangat sederhana sesuai dengan
keadaan masyarakat waktu itu.
Suluh berarti "secercah sinar" terang.
Wayang Suluh pada jaman setelah kemerdekaan digunakan untuk kepentingan
Departemen Penerangan dalam melakukan penuluhan pembangunan kepada masyarakat.
Menteri Penerangan Ali Murtopo, Boediharjo dan Harmoko maberarti sih sempat
wayang suluh dijadikan media penerangan yang handal. Bahkan Dalang wayang Kulit
waktu itu dalam adegan Intermeso Limbukan, diselingi dengan memainkan wayang
Suluh. Mbah Cermo dari Pacitan adalah Dalang wayang suluh ternama di daerah
Pacitan tsekitar Tahun 70an.
"Sesuluh" berarti memberikan penjelasan
atau membuat hati yang gelap menjadi terang, memberikan pencerahan dari yang
belum tahu menjadi mengerti.
"Penyuluhan" memberikan pengertian,
penjelasan suatu hal baru kepada masyarakat yang belum mengerti sehingga mereka
paham akan suatu program pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru,
bahasa sekarang "Sosialisasi"
"Penyuluh" atau Juru penerang, adalah
orang atau pegawai pemerintah yang tugasnya memberikan penyuluhan atau
penerangan tentang berbagai program pemerintah kepada masyarakat.
"Dalang" pada jaman itu juga berlaku
sebagai juru penerang pemerintah ikut menyebar luaskan program-program
pembangunan, dan salah satu medianya dengan menggunakan Wayang Suluh.
Wayang
Wahyu
Memasuki abad 20, bermunculan jenis seni pertunjukan
wayang kulit baru sebagai bentuk toleransi terhadap status klasiknya. Hal ini
menjadi bukti bahwa seni pertunjukan wayang kulit yang adalah realitas panggung
itu mampu mengkristalisasi realitas universal yang memberi nilai pada kenyataan
zaman, di mana eksistensinya senantiasa berpengaruh timbal-balik dengan budaya
masyarakatnya. Salah satu pertunjukan wayang kulit baru yang turut memperkaya
khazanah dunia wayang kulit Nusantara adalah Wayang Wahyu “Ngajab Rahayu”.
Wayang Wahyu “Ngajab Rahayu” lahir pada tahun 1960 dengan spesifikasi dan
karakteristik khusus sebagai wacana pertunjukan. Lahirnya Wayang Wahyu di
Surakarta Jawa Tengah dibidani oleh seorang biarawan Katolik dari konggregasi
FIC bernama Bruder Timotheus L. Wigyosoebroto.
Wayang Wahyu adalah hasil kolaborasi antara Gereja
dengan seniman yang mempunyai tujuan dan fungsi utama sebagai pewartaan iman.
Secara khusus, Wayang Wahyu sengaja dirancang untuk bergerak di luar lingkungan
Gereja. Artinya, selain untuk kalangan umat Katolik khususnya, juga untuk
masyarakat luas pada umumnya. Harapannya adalah agar mampu melahirkan suatu
image baru bahwa keimanan Katolik dapat dekat dengan budaya Jawa.
Wayang yang pagelarannya disajikan dalam waktu
berdurasi sekitar tiga sampai dengan empat jam ini tidak dirancang untuk
melahirkan paradigma baru sebagai bentuk akulturasi budaya, melainkan usaha
untuk membumikan keimanan Katolik. Bukan fenomena Jawanisasi ajaran Kristus ke
dalam kosmologi masyarakat Jawa, melainkan media alternatif untuk membaca ajaran
Kristus dengan bahasa ibu manusia Jawa. Wayang Wahyu bukan konsepsi komunal
masyarakat Jawa, melainkan fenomena konseptual yang mengkonotasikan
bentuk-bentuk komunal masyarakat Jawa. Paradigma Wayang Wahyu adalah realitas
panggung sebagai pembabaran ajaran kebenaran universal untuk memberi nilai
tuntunan pada realitas zaman.
Sumber cerita yang dilakonkan dalam pagelaran Wayang
Wahyu mengangkat kisah yang terdapat di dalam Alkitab. Tokoh-tokoh dalam Wayang
Wahyu dibuat secara realistik dengan ornamen dan ricikan yang distilir mirip
dengan sunggingan (tatahan) wayang kulit Purwa. Selayaknya pertunjukan wayang
kulit pada umumnya, pagelaran Wayang Wahyu juga diringi dengan gamelan dengan
mengambil nyanyian atau gendhing Gerejani dengan garapan (tata penyajian) yang
kreatif. Namun dalam suluknya (semacam nyanyian yang dikidungkan oleh dalang
dalam pertunjukan wayang), masih tetap menampilkan gaya dan irama tradisional
seperti pada wayang kulit Purwa dengan kreasi lirik yang baru. Alur cerita yang
dipakaipun masih mengikuti pakem (aturan atau pedoman baku) dari pertunjukan
wayang kulit Purwa pada umumnya.
Bahan dasar pembuat Wayang Wahyu tetap menggunakan
belulang atau kulit binatang yang dipahat dan diwarnai seperti layaknya
menciptakan Wayang kulit Purwa. Perupaannya cukup dilematis, antara setengah
bentuk wayang yang mempunyai pola garap mendekati Wayang Purwa dan setengah
gambar manusia realistis terutama untuk tokoh-tokoh yang karakternya sudah
dikenal masyarakat. Wayang Wahyu bukan mewayangkan tokoh-tokoh dalam alam
pikiran Barat, melainkan mencitrakan karakteristik tokoh-tokoh dalam Alkitab
menurut alam pikiran Jawa.
Eksistensi Wayang Wahyu juga persoalan dilematis.
Wayang Wahyu bermuara antara estetika Barat dan Timur, antara kesenian
tradisional dengan lingkungan Gereja dan antara kreativitas seniman dengan
ketaatan pada ajaran Gereja. Sebagaimana fenomena lambang meskipun dikontrol
keberadaannya oleh Gereja, tetapi perupaan wayang yang lahir dari tangan
seniman Jawa tetap berkait dengan fenomena lambang. Beberapa unsur pakeliran
Wayang Wahyu memuat nilai-nilai filosofis Kristiani yang sebagian besar muncul
dalam cara ungkap Jawaisme. Nilai filosofisnya adalah nilai-nilai Kristiani dan
bukan filsafat pewayangan, meskipun beberapa unsurnya memuat nilai-nilai universal
dan Jawa (Kejawen), tetapi tidak berseberang jalan dengan paradigma Kristiani.
Nilai-nilai tersebut terformulasi dari dua kutub besar, yaitu nilai-nilai
Kejawen (wayang kulit Purwa) yang menjadi kekuatan obyektifnya dan kutub
dogmatis Kristiani yang menjadi kekuatan subyektifnya. Keduanya adalah energi
kehidupan Wayang Wahyu itu sendiri.
Pergelaran Wayang Wahyu adalah proses transformasi
nilai yang menitik-beratkan pada substansi dogmatis lewat media adaptif sebagai
strategi bahasa panggung lewat konflik kontemplatif religius, di mana para
penghayat berkesempatan melakukan koreksi ulang, pengkayaan dan pendalaman
nilai-nilai Alkitabiah. Bahkan dapat menemukan fenomena lain dalam wilayah
religiusnya sebagai bagian dari perjalanan spiritualnya.
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
08.03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar