Cerpen Negara Adalah Saya

:Unknown

: di 08.51

L'etat C'est Moi

( Negara adalah Saya )

Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim

Dingin angin pagi menusuk tulang-tulang. Dengan tenang dimainkannya kursi goyang itu. Meski telah berusia senja, semangatnya tetap berapi-api. Diseruputnya secangkir kopi ditemani surat kabar kesukaannya. Setumpuk buku kajian ilmu politik dan pemerintahan tergeletak di meja aluminiumnya, yang ia impor ketika ia masih berjaya. Masih teringat di benaknya ketika dulu dia dan mendiang istrinya plesir ke luar negeri. Hampir seluruh dunia ini pernah diarunginya. Meski tak punya uang, tetap bersikeras untuk plesir. Jabatan yang didapatnya ketika masih di Senayan dulu, benar-benar dimanfaatkannya untuk menguras harta negara. Jangankan Eropa, dalam setahun bisa tiga kali ke Australia. Dengan berkedok kunjungan kerja, studi banding dapat leluasa menguras harta negara. Masih juga teringat olehnya sewaktu jayanya dulu, ia bisa bermain wanita. Namun kini di masa kejatuhannya, mana ada bidadari yang ingin hinggap kepadanya.

Kini semua tinggallah penyesalan, semenjak ia didepak dari Senayan. Otomatis kehidupannya jadi kacau balau. Rakyat tak percaya lagi kepadanya. Prestise dan privileges yang dimilikinya dulu kini telah sirna. Semenjak mencuatnya kasus penyalahgunaan dana anggaran anggota dewan, hidupnya seperti kebakaran jenggot. Dengan serta merta ia melepaskan kursinya di Senayan. Dilepaskannya jabatan sekertaris jendral partainya. Ia pun segera lari dari ibukota. Sejaya-jayanya Majapahit pada akhirnya akan runtuh juga. Itulah ungkapan yang pantas baginya. Meski sempat lari ke persembunyian. Nasib pelik terus menimpanya, istrinya yang materialistis jatuh sakit karena ketahuan melakukan penggelapan pajak. Ia pun segera keluar dari sarangnya. Media massa mulai gencar memberitakan istrinya yang sakit. Kata mereka itu adalah azab, kata mereka itu adalah kutukan. Baginya ungkapan itu seperti ada benarnya juga.

Dari waktu ke waktu penyakit istrinya justru semakin parah. Maka ia berusaha melarikan istrinya ke Singapura. Bukan karena alat kesehatan di Indonesia tidak lengkap, namun karena biaya pengobatan di Indonesia lebih mahal. Saat itu operasi bedah dibandrol satu milyar di Indonesia . Dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Maklum semenjak ia didepak dari Senayan, ia tak punya pemasukan. Segala upaya dilakukan, namun nasib berkata lain nyawa istrinya tak tertolong. Di tengah kematian istrinya, media justru sedang seru-serunya membicarakan mendiang istrinya. Akhirnya sang KAPBIR ( Kapitalis Birokrat )telah dihukum. Semenjak kematian istrinya, ia bersikeras untuk mengembalikan kejayaannya di Senayan. Namun rakyat sudah telanjur tak percaya lagi kepadanya, sampai-sampai ia dijuluki wisatawan bertopeng anggota dewan, karena kegemarannya plesir ke luar negeri.

Di hari tuanya ia hanya bisa duduk tersimpuh di kursi goyangnya yang reot termakan usia. Ia tak berani lagi untuk kembali ke Senayan. Pekerjaannya hanyalah memandangi peristiwa politik yang sedang hangat dibicarakan. Lagi pula badannya yang renta, sudah tak kuat lagi untuk bekerja. Tak dapat pensiun seperti pejabat Senayan lainnya, ia hidup menderita penuh penyesalan. Ditemani putranya yang kini sedang menyelesaikan disertasinya, hidupnya tetap terasa sebatang kara.

Andaikata di zaman keemasannya dahulu dia ingat Tuhan. Pasti dia tidak akan berakhir seperti ini. Namun bagaimana Tuhan telah menghendakinya untuk berada dalam jalan kesesatan, apa daya baginya untuk melawan kehendak Tuhan. Kini orang mengenal nama Asmuni bukan sebagai seorang anggota dewan yang bekerja keras demi tercapainya aspirasi rakyat. Namun nama Asmuni dipelintir menjadi asal muni ( asal bicara ). Partainya yang dulu mengusungnya tak bersimpati lagi kepadanya, dengan alasan takut citra partai turun.

Lembar demi lembar surat kabar dibukanya. Satu kesimpulan yang didapatnya dari membaca surat kabar itu. Keadaan politik sekarang tak berbeda dengan keadaan politik dahulu. Anggota dewan mengumbar janjinya pada rakyat, namun tak melaksanakannya. Dalam benaknya ia berpikir mengapa budaya oligarkhi tetap dipertahankan.” Apakah mereka ingin bernasib sepertiku,” pikirnya. Setelah membaca surat kabar ia bersikeras untuk mengarahkan anaknya agar tak terjerumus sepertinya. Maklum anaknya juga mengambil jurusan ilmu politik dan pemerintahan. “ Bila Ali nanti pulang aku akan segera menasehatinya,” pikirnya.

Diteguknya lagi kopi kesukaannya itu. Dia masih cukup beruntung masih bisa menikmati kopi luwak di masa senjanya. Beruntung keterlibatannya dalam penyalahgunaan anggaran tidak berhasil dibongkar pemerintah. Tak seperti kawan-kawanya sewaktu di Senayan dulu, yang kini mendekam di hotel prodeo di masa senjanya. Ia tersenyum kecil ketika teringat dengan kawan-kawannya itu. Diletakkannya kembali kopi itu. Lalu diambilnya lah buku Komunikasi Politik karangan Astried Susanto. Meski sampulnya lusuh, namun buku kajian politik menyimpan banyak kenangan berharga baginya. Apa lagi anaknya, Si Ali memintanya untuk mencarikan buku karangan Astried Susanto itu untuk referensi disertasinya, beruntung dia punya. Ali berjanji untuk pulang menengoknya, dan untuk mengambil buku itu.

Meski tak berpesan kapan akan datang, dia tetap sabar menunggu kedatangan putra semata wayangnya. Dibacanya lah buku itu. Ketika membaca halaman awal buku itu, ia teringat kepada nasihat profesornya yang berpesan kepadanya jika ingin menjadi anggota dewan janganlah menjadi seorang pengumbar janji, tetapi jadilah patriot yang berjuang demi rakyat. Dibukalah halaman kedua buku, ketika membuka halaman kedua teringatlah ia kepada perkataannya pada teman-temanya ketika dulu di sekolah. “ Ketika besar nanti, aku akan melakukan apa pun demi kemakmuran dan kemajuan bangsa ini teman-teman percayalah !” Maka keluarlah air mata ketika ia ingat janji dia pada teman-temanya itu, bahkan menurutnya itu tidak hanya janji dia pada teman-temannya. Itu merupakan janji pada bangsa dan negara yang harus dibayar. Karena janji adalah hutang. Semakin lama-lama timbul penyesalan mendalam di dalam hatinya. Namun penyesalan itu sudah terlambat. Kini ia sudah tua, dan rakyat telah telanjur tak percaya padanya. Begitu akan membuka halaman ketiga buku ia tak kuat lagi menahan kemalangannya, dijatuhkannya buku itu, dan diusaplah air matanya. Lalu beberapa saat kemudian, bel rumahnya berbunyi.

“ Permisi Ali pulang ayah.”

“ Ali ? Masuklah nak pintunya tidak dikunci .“

Pak Asmuni sengaja tidak menutup pintu rumahnya, karena tahu anaknya si Ali akan pulang. Kerinduannya pada si Ali kini terbayar sudah. Maklum semenjak Ali kuliah di Jogja, ia hidup sebatang kara di Surabaya. Apa lagi semenjak Ali mengenal wanita keturunan Arab, yang kini tidak hanya menjadi kekasihnya, namun juga pendamping hidupnya.

“ Bagaimana keadaan ayah, baik-baik saja kan.”

“ Alhamdulillah, tapi semenjak perginya mendiang ibumu aku jadi kesepian. Mengapa kau dan keluargamu tak pindah ke sini saja, menemani aku yang sudah tua renta ini. Lagi pula aku juga rindu dengan cucuku Paul.”

“ Maaf yah, tidak bisa. Orang tua Halimah menghendaki agar anaknya dan aku tinggal di Jogja. Dan jika aku tidak menuruti permintaan orang tua Halimah aku merasa malu yah.”

“ Baiklah, tidak apa-apa. Apa kau mau ku buatkan minum.”

“ Tidak terima kasih ayah, aku ke sini hanya sebentar. Sekedar menengok ayah dan mengambil buku yang ku minta yah. Besok aku harus segera berangkat ke Lombok dalam rangka sosialisasi politik dari Komisi Pemilihan Umum.”

Mendengar perkataan anaknya itu sebenarnya Pak Asmuni sedikit kecewa. Putra satu-satunya yang selalu ditunggu-tunggunya akan segera meninggalkannya lagi. Air mata hampir saja menetes, namun ditahannya. Ia tidak ingin anaknya ikut merasakan penderitaannya. Agar Ali tidak segera pergi ia pun mengulur waktu dengan mengajak Ali berdiskusi ringan.

“ Nak, sebelum kau pergi aku ingin bertanya padamu.”

“ Bertanya apa ayah ?”

“ Sebagai seorang pakar politik bagaimana pendapatmu tentang seorang anggota dewan yang mengumbar janji di hadapan rakyat untuk mendapatkan jabatan. Namun setelah dia mendapat jabatan itu ia malah menggunakannya untuk maksiat.”

“ Jawabannya mudah ayah, itu adalah perilaku yang tak terpuji. Anggota dewan perwakilan rakyat adalah manifestasi dari adanya rakyat. Mereka ada karena rakyat. Maka sangat tak layak jika mereka menggunakan jabatannya bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat. Meskipun mereka punya harta dan ilmu yang melebihi rakyat, namun mereka tak mungkin mendapat jabatan tanpa adanya rakyat. Negara pun seperti itu yah, negara juga terbentuk karena adanya rakyat. Berawal dari kumpulan individu yang berkumpul dan menetapkan dasar-dasar sehingga timbul perjanjian di antara individu-individu itu, yang membuat mereka sepakat untuk membentuk kesatuan dan pada akhirnya akan terbentuk negara. Maka sudah selayaknya pemimpin di dunia ini tak melupakan rakyatnya.”

“Lalu apakah janji itu harus dibayar?”

“Tentu ayah jika kita sebagai pemimpin telah berjanji pada rakyat. Artinya kita tak hanya berjanji pada orang banyak, tetapi kita juga berjanji kepada diri kita sendiri bahkan pada Tuhan.”

“Sejauh itu kah? Mengapa harus dibayar lagi pula janji itu bukan hutang. Selama hidupku ini aku tak pernah berhutang, namun sewaktu dulu di Senayan memang aku pernah berjanji pada rakyat untuk menyampaikan aspirasinya, namun aku tak melaksanakannya. Lalu apakah aku berhutang, padahal aku ini termasuk deretan orang terkaya di negeri ini.”

“Ingat ayah, kepercayaan dan amanah dari rakyat tak bisa dibeli dengan uang. Sekali kita salah melangkah kita sama dengan bunuh diri. Janji adalah hutang yang harus dibayar, namun tak bisa dibayar dengan sekedar uang. Namun harus dibayar dengan sebuah pertanggungjawaban.”

“Maksudmu kau menyalahkan ayahmu sendiri. Mengapa aku harus membayar dengan pertanggungjawaban, apa salahku? Lagi pula mereka tak perlu dimanjakan terus, mereka hanya bisa menuntut dan menuntut pada penguasa. Mereka tak merasakan beban berat menjadi pemimpin. Apa yang ku lakukan di masa lalu bukanlah kesalahanku, tapi kesalahan rakyat sendiri. Mereka hanya suka berdemonstrasi. Apa lagi semenjak kejatuhan orde baru. Nasib kami terus diombang-ambing. Anggota dewan menjadi tak terhormat. Bahkan dapat dikatakan kami ini sekarang adalah budaknya rakyat. Apa yang kami lakukan adalah menuntut hak atas kerja keras kami, kami tidak korup, kami hanya ingin mendapatkan jatah lembur kami.”

Suasana dialog yang berawal damai, berubah menjadi tegang. Ali sebagai generasi reformasi berusaha menahan amarahnya. Ia tak meladeni nada keras ayahnya. Meski amarah sudah sampai di tenggorokannya ia tetap berusaha menahannya. Ia berusaha menyikapi dialog ini dengan kepala dingin. Diusapnya dadanya untuk menahan emosinya.

“ Baik ayah aku mengerti maksudmu. Namun ini semua bukan kesalahan rakyat. Rakyat tidak tahu apa-apa tentang pemerintahan dan ketatanegaraan. Kita sebagai insan berilmu sudah selayaknya melaksanakan panggilan alam itu ayah. Ingat padi makin berisi makin merunduk.”

“ Jadi kau lebih memilih menyalahkanku, dan membela kaum marginal itu. Aku kecewa padamu Nak. Apakah kau telah disusupi oleh pandangan Marxisme. Lalu kau anggap kalangan intelektual sebagai borjuis yang menindas proletar. Kau anggap kalangan intelektual itu munafik. Aku kecewa, aku kecewa padamu Nak. “

“ Tunggu dulu Yah,.....

Belum sempat Ali meneruskan pembicaraan Pak Asmuni memotong pembicaraannya. Ia marah besar kepada Ali yang dianggapnya telah menyalahkan kalangan intelektual sebagai koruptor dan munafik. Ia curiga Ali telah terpengaruh paham Marxisme- Komunisme.

“ Nak aku sekarang juga memintamu untuk melepaskan keterikatanmu pada paham sesat itu, kembalilah pada pancasila Nak. Cintailah ibu pertiwi. Komunisme adalah musuh kita. Kembalilah pada Pancasila sekarang juga! “

“ Komunisme memang musuh kita Yah. Namun apa yang ayah yakini juga bertentangan dengan pancasila. Tak selayaknya ayah mempertahankan kapitalisme. Itu menyengsarakan rakyat Yah. Aku akan taubat setelah ayah taubat terlebih dahulu.”

Karena emosinya sudah memuncak, ditampar lah putra kesayangan itu. Kedatangan yang ditunggu-tunggu ternyata hanya menjadi bumerang baginya. Apa yang diyakininya berbeda dengan pandangan anaknya. Maklum Pak Asmuni sudah terlibat lama dalam pemerintahan orba, namun setelah sang diktator digulung, ia pun ikut merasakan getahnya. Ali yang sebenarnya sudah sampai ambang batas kesabarannya tetap berusaha menahan amarahnya. Ia tertantang untuk melanjutkan silat lidah dengan ayahnya.

“ Baik ayah boleh saja menamparku, namun aku ingin ayah minta maaf kepada rakyat. Karena selama tiga puluh dua tahun ayah menampar pipi rakyat Indonesia. Ayah sadarlah rezim lama sudah tumbang, ini adalah zaman pembaharuan. Apakah ayah ingin menjadi seperti diktator Perancis Louis XIV yang dengan slogannya L'etat C'est Moi , yang menganggap dirinya sendiri adalah negara. Sehingga seluruh kata-katanya dianggap undang-undang yang harus dilaksanakan rakyatnya. Yang pada akhirnya membuat rakyatnya sendiri menderita. Ingat ayah, pemimpin mana pun tak akan berdiri tegak tanpa adanya rakyat. Dapat diibaratkan negara adalah bangunan, pemimpin adalah atap bangunan, sedang rakyat adalah saka guru bangunan. Maka apabila bangunan tak disertai saka guru/ penyangga, bangunan itu akan runtuh. Sadar, sadarlah ayah!”

Mendengar perkataan anaknya itu, hati Pak Asmuni tersentuh.Ada kepedihan menusuk-nusuk hatinya. Ia sangat berterima kasih pada Tuhan telah diberikan anak yang sholih dan berilmu. Tak rugi ia menyekolahkannya sampai menjelang tamat S3. Air mata bercucuran dari mata Pak Asmuni, ditatapnya wajah anaknya yang rupawan. Ali yang tak tega melihat ayahnya menangis segera memeluk ayahnya.

“ Maafkan aku Ayah, aku telah lancang.”

Tak berapa lama kemudian bel rumah Pak Asmuni kembali berbunyi. Namun tamu yang datang tidak mengucapkan salam dan datang dengan tidak ramah. Didobraklah pintu rumahnya, Pak Asmuni kaget mendengar pintu rumahnya didobrak, ia pun terperanjat dari kursinya. Tanpa diketahui siapa pun ternyata tamu itu adalah anggota tim penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Pak Asmuni ingin rasanya melarikan diri, namun tubuhnya sudah gemetaran semua.

“ Maaf, apakah Anda saudara Asmuni.”

“ Iii ya, memang kenapa?”

“ Anda saya tangkap karena terlibat dalam kasus penyalahgunaan anggaran dewan perwakilan rakyat, dan keikutsertaan Anda dalam suap perjalanan dinas sepuluh tahun yang lalu.”

Pak Asmuni yang mengetahui dirinya akan ditangkap. Pura-pura tidak tahu, seakan-akan dia terserang penyakit lupa seperti koruptor lain.

“ Suap? aku tak tahu. Semenjak reformasi aku tak terlibat dalam pemerintahan.”

“ Bapak jangan berbohong, kami mendapat informasi ini dari rekan-rekan bapak yang sudah terlebih dahulu mendekam di penjara. Lebih baik sekarang bapak ikut kami.”

“ Tapi ? Apa salahku ?”

Pak Asmuni semakin ketakutan, para penyelidik terpaksa memaksa Pak Asmuni dengan menyeretnya. Pak Asmuni berusaha minta tolong pada anaknya, namun apa daya anaknya justru menyerahkannya pada KPK.

“ Sudahlah ayah, ikuti saja perkataan bapak-bapak ini. Aku akan mencarikan pengacara terbaik untukmu. Aku akan tetap memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Hendaknya ini menjadi pelajaran berharga bagi kita.”

Para penyelidik KPK segera membawa Pak Asmuni ke mobilnya. Sebenarnya Ali tak rela melepaskan ayahnya. Namun demi kebenaran dan kepentingan rakyat, semua itu harus dilakukannya. Meski ayahnya sendiri yang harus dikorbankan.

0 komentar:

Posting Komentar

ANGGALIHPEDIA