The Last Stand
Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim
Terus Ku tatap tajam foto
itu, memang banyak memori di dalamnya. Paling tidak sulaman-sulaman peristiwa
lalu terlukis di dalamnya. Dudung, Basuki, Suhardi, mereka adalah yang paling
berkesan. Meski foto ini sudah terlihat buluk, tapi kan Ku rawat dengan baik.
Terlalu banyak sejarah di dalamnya. Tuhan memang adil, Tuhan menciptakan
sesuatu selalu berpasangan. Ada siang, ada malam. Ada hidup, ada mati. Ada
pertemuan pasti kan terjadi sebuah perpisahan. Itu lah yang terjadi. Semenjak
berpisah, Kami tak pernah bertemu lagi. Aku tak tahu apakah Mereka masih hidup.
Apakah Mereka sudah punya anak ? Hidup bahagia atau justru sebaliknya. Aku tak
pernah tahu, tak pernah ada kabar dari Mereka. Maklum Kami orang tempo dulu.
Main handphone saja tak becus, apa lagi email. Aku heran dengan anak muda zaman
sekarang, Mereka memang mahir dalam menggunakan teknologi. Tapi sayang, Mereka
tak mahir dalam hal perasaan. Bukan perasaan cinta atau berkasih sayang. Mereka
justru lebih mahir tentang itu. Buktinya Mereka sudah berpacaran di usia bau
kencur. Sungguh tak elok, tapi yang Mereka tak punya adalah perasaan mengenai
memaknai hidup. Mereka itu kini seperti binatang haus darah, sesama teman
dihabisi sendiri. Aku sedih ketika mendengar kabar dari tetangga ada anak SMA
yang tewas dibacok karena diduga terlibat tawuran. Apa maksud Mereka ? Apa
Mereka pikir Mereka sudah benar ? Mereka pikir dengan menonjolkan otot, Mereka
kuat ? Sungguh ironis saat ini. Andai Aku bisa bertemu sahabat lama, pasti Kami
bisa bertukar pikiran bersama. Kami bisa saja berantas kedzaliman ini. Aku
sudah sangat muak dengan kekalutan ini. Dudung, Basuki, Suhardi, andai Aku bisa
bertemu kalian lagi. Kan Ku ukir kembali masa jaya Kita. Semenjak revolusi itu
jatuh, semuanya berantakan.
Pemuda-pemuda itu pikir
Mereka benar. Mereka hanyalah manusia-manusia takabur, gegabah dan suka
menggumbar masalah. Mereka seenaknya sendiri menuduh Kita. Andai Aku bisa
bertemu kalian lagi, kan Kita balas Mereka. Aku sedih pemuda-pemuda takabur itu
kini menguasai zaman, Aku sedih kekuatan persahabatan Kita ditumbangkan oleh
kekufuran. Oh.... Dudung, Basuki, Suhardi coba ada kalian. Pemuda seharusnya
menjadi harapan bangsa, bukannya asal demo sana-sini. Ini kah tanda kerapuhan
zaman ! Pemuda-pemuda itu justru memperkeruh suasana, andai Kita bisa berkumpul
lagi sahabat. Kita bersama tunggangi kuda hitam Kita, Kita penggal kemungkaran.
Mereka pikir rezim yang lalu buruk, Mereka pikir reformasi jalan keluar.
Tidak..... tidak semua ini hanya okhlohkrasi.
Aku sangat murka dengan Mereka sahabatku. Mereka itu hanya binatang jalang,
Mereka hanya manusia murahan, sahabat.
“
Pak...... Heh, jangan melamun terus ! Tiap hari Bapak pandangi foto itu, memang
kenapa sih Pak ? Tu...... di depan ada orang nyariin Bapak.”
“
Enggak, kok Bu, Bapak Cuma mengingat masa jaya Bapak. Siapa yang cari Bu ?”
“
Ibu tak tahu, Ibu juga gak kenal tu Pak, siapa Dia ya Pak ? coba Bapak tengok
dulu dari jendela ?”
“
Oo......... Ya, akan Ku tengok dulu. Masya Allah”
“
Lho.......... kenapa Pak ? Ada apa kok jadi kaget ?”
“
Nga....... nganu, Bapak tak mau menemui Dia, meskipun Dia mencari Bapak.”
“
Lho ! Memang Dia siapa Pak ? Mengapa Bapak menjadi tidak senang dengan
kedatangannya.”
“
Pokoknya Aku tak mau menemuinya, Dia orang tak penting dalam hidupku. Usir saja
Dia, Bu.”
“
Lho........ kok diusir, siapa pun dia Kita harus meladeninya Pak. Ingat Kita
harus menghormati tamu. Agama pun sangat menganjurkan umatnya menghargai tamu,
siapa pun Dia. Tamu adalah raja, Pak.”
“
Sudah...... sudah, kenapa Ibu malah jadi ceramah, Dia itu orang jahat. Dia tak
usah ditemui. Dia pantas untuk diusir.”
“
Jahat ? Bapak ini jangan begitu ? Kita sesama manusia harus saling menghargai.
Mengapa Bapak bisa berkata Dia jahat ? Memang Dia pernah melakukan kejahatan
apa dari Bapak.”
“
Dia......... Dia lah yang menjadi provokator sehingga Bapak jadi lengser. Dia
itu hanya penjilat, Bu.”
“
Tapi......... bagaimana pun juga, Kita harus menjamunya dengan baik,Pak. Siapa
tahu kemari Dia datang untuk minta maaf pada Bapak, atas perilakunya di masa
lalu.”
“
Tidak mungkin seorang pembunuh akan minta maaf. Dia hanya makhluk berdosa.”
“
Apa ? pembunuh. Memang Apa yang dilakukannya, Pak ? Sampai-sampai Bapak menuduh
sekejam itu padanya.”
“
Jangan keras-keras, nanti Dia dengar. Kau tahu penyebab kematian sahabatku
Dudung.”
“
Tidak, Pak.”
“
Akan Ku beritahu, Dia sebenarnya adalah anak angkat Si Dudung. Dia orang tak
tahu terima kasih. Di beri susu malah membalas air tuba. Menjelang revolusi,
Kau kan tahu krisisi moneter membayangi negeri ini. Dia dan gerombolannya
mengajak pemuda-pemuda ingusan melawan rezim. Dengan semena-mena, Ia tuduh
rezim bertindak KKN. Ia sebenarnya hanya mengincar kekuasaan. Akibat dari
terjadinya revolusi itu, Bapak dan sahabat Bapak didepak dari senayan. Akibat
hal itu, sahabat Bapak, Si Dudung menjadi stress setelah mengetahui aksi anak
angkatnya itu. Akhirnya Dudung terkena stroke, dan Kita tahu 5 bulan kemudian
Dia wafat. Sangat kejam bukan ? Dan yang Ku dengar, Dia kemari hanya meminta
persaksianku, untuk meringankan hukumannya.”
“
Hukuman, memang Dia salah apa,Pak ?”
“
Kau ini bagaimana malah membela penjahat ? Kau tak tahu Dia terjerat kasus
pelanggaran Ham berat pada masa revolusi. Yang Ku dengar Ia memaksa orang agar
ikut demo. Dan yang terbaru Ku dengar Ia terlibat pencucian uang. Dia ingin
meminta Aku memberikan kesaksian berkaitan dengan kejahatannya di masa
revolusi.”
“
Dari mana Bapak tahu kalau Dia kemari untuk meminta Bapak memberikan
persaksian.”
“
Dari sumber yang masih loyal kepadaku.”
“ Lalu mengapa Dia sangat butuh
persaksian Bapak ?”
“
Tentu saja, si Dudung kan sahabat karibku. Dan Dia kan anak angkatnya. Dan lagi
pula Aku termasuk orang penting di negeri ini.”
“
Lalu apa yang akan Bapak lakukan terhadapnya ?”
“
Aku akan balas dendam. Akan Ku beri Dia pelajaran penting. Kalau perlu Ku beri
Dia sampai Dia dihukum mati. Apa lagi rakyat kini mengembor-gemborkan hukuman
mati bagi penjahat besar seperti Dia.”
“
Sebentar, Pak. Ku lihat Dia. Apa tak sebaiknya Bapak temui Dia ? Kelihatannya
sebentar lagi Dia akan pergi.”
“
Ku bilang tidak Ya tidak. Ini prinsip, tak ada yang bisa mencampuri.”
“
Iya, tapi slow aja dong, Pak. Tu lihat kan Dia sudah pergi ! tapi mengapa Dia
meninggalkan kardus, apa itu bingkisan, atau jangan-jangan bom. Akan coba Aku
lihat.”
“
Sudah pergi, bagus lah. Sudah, Bu tak perlu Kau urusi apa yang
ditinggalkannya.”
“
Tapi, Ibu penasaran jadinya, Pak. Sebentar Ibu lihat dulu.”
“
Bu.......... jangan. Ah...... sudah lah. Dasar wanita !”
Dudung lihat lah sebentar lagi, Aku
akan balaskan dendam Kita. Akan Ku balas anak bau kencur itu. Kau tak perlu
sedih, anak sialan itu kan Ku singkirkan. Biar Dia tahu bagaimana rasanya
tersakiti. Rakyat kini tak percaya lagi kepadanya. Dosanya sudah sangat besar,
tenang sahabatku kalian akan senang nanti. Penjahat itu akan mati.
“
Pak........ jangan terus ajak ngobrol foto itu, lihat isi kardus ini, isinya
uang yang banyak, Pak. Ini untuk Kita !”
“
Uang ? Mana Bu, serahkan pada Bapak ?”
“
Ee, enak sajak yang ambil kan Ibu. Lagian tadi Bapak tak mau temui Dia. Ini
uang Ibu.”
“
Bu, berarti Dia kemari mau menyuap Bapak, mana uangnya itu bisa menjadi bukti
untuk memberat hukuman Dia.”
“
Bapak ini bagaimana ? Dikasih rezeki kok tak mau ! pokonya ini uang Ibu.”
“
Mana Bu ! uang ini akan Bapak serahkan pada KPK, Bapak akan balas dendam Bapak.
Biar kapok Dia, Kalau perlu Ku kirim Dia sampai neraka.”
“
Lho........ Pak, uangnya jangan dibawa ke KPK, kan lumayan Pak. Bisa untuk
shopping Ibu, jangan, Pak.”
“
Ibu ini, Ibu mau terlibat pencucian uang ? Persaksian hanya untuk kebenaran,
Aku tak mau membela kedzaliman. Pokoknya Aku hari ini juga akan ke KPK.”
“
Jangan, Pak. Please, itu kan uangnya banyak. Bapak boleh berikan kesaksian yang
benar, tapi uang itu tetap untuk Ibu.”
“
Tidak bisa, ini adalah tanggung jawab moral. Kebenaran harus ditegakkan,
sekalian Bapak balas dendam. Assalamualaikum, Bu.”
“
Lho........ Pak, uangnya ?”
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
11.09
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar