In Mataram with Love
Oleh : Anggalih Bayu Muh Kamim
Musim liburan telah tiba.
Sejenak Aku bisa istirahat dari kerja. Tak terasa tiga tahun sudah Aku mengabdi
pada negeri ini. Kini Aku ingin meregangkan otot dan pikiranku. Maklum
pekerjaanku cukup menguras tenaga. Tetapi Aku heran, justru mendekati musim liburan
seperti ini tak ada kabar darinya. Sms tak dijawab, apa lagi ketika Ku telpon.
Aku juga sempat mengiriminya email, namun juga tak direspon. Mengapa di masa
menuju pinangan, ujian makin berat. Memang Aku lebih sibuk dengan pekerjaanku.
Apakah Dia telah berpaling. Dalam hatiku, Aku yakin Dia tetap setia. Mungkin
Dia sedang sibuk. Terakhir kabar yang Ku dengar Dia sedang mengurus tesisnya.
Liburan tahun ini Ku putuskan pulang ke Bumi Mataram. Tempat di mana sejarah
hidupku mulai ditulis. Memang tak ada sambutan ramah. Sebab orang tuaku lebih
sibuk mengurusi perusahaannya. Katanya Time
is money. Dalam tradisi keluargaku memang seperti ini. Tak seperti keluarga
Jawa lainnya. Karena hal tersebut Aku tak ingin memakai gelar Raden Mas. Kini
nilai telah bergeser. Strata tak dinilai dari hubungan darah, tapi lebih utama
materi. Dan Aku juga belajar dari pamanku yang hanya mempertahankan
kebanggaannya hanya dari gelar darah birunya. Akhirnya ia mati sia-sia, karena
jatuh miskin. Aku tak mau mati konyol.
Kini dunia telah berubah,
sudah tak sepantasnya menganut nilai-nilai lama yang katrok alias ndeso. Aku
ini masyarakat modern, jadi untuk apa mementingkan kebangsawanan. Kini tuk jadi
priyayi tak perlu gelar, cukup menyogok dengan uang. Gelar priyayi dapat dengan
mudah Kita sandang. Aku hanya bisa tertawa dalam hati, ketika melihat
orang-orang konservatif mengenakan blangkon dan surjan. Dan bagiku wanita
berkonde tak lah cantik. Maka di hari pernikahanku, Aku hanya mau dengan gaya
modern. Sebenarnya Aku tak ingin pulang, tapi demi liburan murah, Aku pulang.
Maklum Ayahku adalah seorang businessman pariwisata dan ibuku pun menjadi
priyayi di dinas pariwisata. Jadi tak perlu repot-repot merogoh saku lebih
dalam. Aku telah berjanjian dengan Dia di Pojok Beteng Kulon. Namun dari tadi
Ku tunggu dia tak datang. Apakah ini liburanku yang paling memuakan. Mengapa
Dia tak segera menampakan batang hidungnya ? Namun demi Dia apa pun akan Ku
lakukan.
Aku rela menunggu di
warung kecil ini. Bagi orang sini warung makan seperti ini favorit. Dengan ciri
khas dua ceret besar, warung ini cukup ramai. Padahal warung ini tak lebih dari
los pedagang kaki lima. Sudah begitu menutupi trotoar dan memakan badan jalan.
Pembeli memarkir kendaraan seenaknya. Sebenarnya Aku tak mau duduk di sini. Tapi
mungkin ini dapat Ku manfaatkan sebagai pencitraan. Maklum sebulan lagi
pemilihan. Mungkin dengan Aku di sini, orang yang melihatku akan mengganggap
Aku merakyat. Karena jurus itu kini terbukti ampuh memenangkan proses politik
itu.
Setelah Aku menunggu dua jam
datanglah taksi. Seorang wanita menawan berseragam layaknya priyayi keluar dari
taksi. Tapi Dia agak direpotkan dengan berkas-berkas. Aku segera keluar dari
warung kecil ini. Dan sebenarnya Aku sudah tak tahan dengan asap rokok. Apa
mereka ingin bunuh diri dengan merokok. Lalu Ku hampiri Dia, Ku bantu dia
membawa berkas-berkasnya.
“
Mengapa Kau baru datang ?”
“
Maaf, tesisku benar-benar menyibukanku. Kapan Kau pulang.”
“
Kemarin sore. Oo rupanya hal itu. Pantas Kau juga tak pernah membalas emaiku.
Kan Aku sudah bilang tesis itu biar Aku yang buat. Kau tenang saja. masalah
seperti itu mudah bagiku.”
“
Aku tak ingin. Aku ingin membuatnya dengan jerih payahku sendiri. Aku tak ingin
mempermudah masalah intelektualitas.”
“
Kau memang wanita yang baik. Tak salah Aku memilihmu.”
“
Sebenarnya ada apa Kau menyuruh Aku kemari ?”
“
Aku hanya ingin mengajak Kau jalan-jalan. Kita sudah lama tak melakukannya.”
“
Kalau saat ini tidak bisa. Aku ada janji dengan Professor.”
“
Kau memang benar-benar sibuk ya ? bagaimana kalau besok ?
“
Masih belum bisa ? “
“
Kalau lusa ?”
Dia tak menjawab. Ketika
Dia melihat warung makan itu mulai sepi pelanggan, Dia justru meninggalkanku
bersama berkas-berkasnya. Mungkin Dia sudah lelah dan kelaparan. Akan Ku pancing
Dia agar mau. Akan Ku lakukan apa pun. Sebab Aku benar-benar rindu padanya. Dia
terlalu sibuk dengan pendidikannya, Aku pun terlalu sibuk dengan pekerjaanku
selama ini. Wanita itu awalnya dipilihkan oleh orang tuaku. Begitu melihatnya
dulu Aku langsung terpana. Kata orang tuaku Dia merupakan anak dari mendiang
sahabat orang tuaku. Ketika masih hidup orang tuanya pernah berpesan akan
menjodohkan anaknya dengan salah satu putra orang tuaku. Ternyata yang dia
pilih Aku. Bagiku itu adalah sebuah keberuntungan yang luar biasa. Dengan Dia,
Aku bisa melahirkan kembali orang-orang yang berjiwa intelektual dan
berpandangan progresif. Sudah saatnya golongan konservatif Ku singkirkan. Tak
akan ada lagi kekolotan. Ini sudah pilihanku, dan Dia setuju dengan idealismeku.
Kita memang satu tujuan.
Tak hanya melahirkan
keturunan, tapi akan Ku dirikan dinasti modern. Sudah saatnya berubah menjadi
masyarakat madani, masyarakat yang beradab dan berakhlak. Akan Ku singkirkan
semua klenik dan thaghut. Aku tak ingin generasi selanjutnya sesat. Aku tak ingin
patriarki terus berjalan. Bersama dia akan Ku ubah dunia menjadi lebih baik.
Liburan kali ini membuatku senang, bisa bertemu dengan Dia. Kerinduanku
terobati, sebentar lagi tak akan ada sesembahan di tempat yang dianggap wingit.
Tak akan ada lagi tradisionalisme, semuanya harus berubah. Akan Ku singkirkan
semua kepercayaan kolot. Hanya satu yang boleh menang, yaitu manusia modern.
“ Ah, Kau sudah selesai Ya ? Bagaimana sudah kenyang ?
Bagaimana jadinya lusa bisa ?
“ Baik lah setelah Ku pikir-pikir besok tak apa. Akan Ku
pending tesisiku demi hubungan Kita. Memang Kita akan kemana ?
“ Oo, Aku ingin jalan-jalan ke Candi Prambanan. Yang Ku
dengar candi selesai dipugar. Dan di malah hari Kita bisa menonton Ramayana
ballet.”
“ Apa ke Prambanan ? Aku tak mau !”
“ Mengapa tak mau, tempat itu cukup indah.”
“ Ada kepercayaan bahwa pasangan yang pergi bersama ke
sana menjadi tak langgeng. Aku khawatir itu akan terjadi pada Kita, setelah
Kita ke sana.”
“ Tenang saja, itu kan mitos. Itu tak lebih dari kisah
Roro Jonggrang.”
“ Jadi Kau ingin hubungan Kita tak langgeng ?”
“ Bukan, itu kan hanya kepercayaan belaka. Dan sampai
kini tak ada bukti otentik yang bisa menjelaskannya. Dan Kita tak patut percaya
seperti itu. Itu syirik, Aku hanya percaya pada Tuhan. Memang benar manusia itu
mikrokosmos, makrokosmos adalah kekuatan alam. Dan tak lain makrokosmos itu
adalah Tuhan, itu sendiri. Jadi untuk apa Kita khawatir.”
“ Itu tak sekadar mitologi, Aku meyakininya. Orang tuaku
saja ketika jadian tak berani ke sana. Keluargaku pun sangat mempercayainya.”
“ Sudah lah, Kita harus meninggalkan kepercayaan kolot
itu ! Mari kita mulai zaman baru.”
“ Jadi Kau anggap Aku kolot. Apa Kau benar-benar ingin
hubungan ini disudahi. Tatap mataku,
Kita sudah lama menjalan semua ini. Aku tak ingin mengakhirinya dengan
konyol.”
“ Baik, Kalau Kau tak mau Aku akan pergi dengan Yanti.”
“ Yanti, siapa dia ? beraninya kamu menyebut wanita lain
di hadapanku.”
“ Aduh, keceplosan. Tidak.......... tidak, Dia bukan
siapa-siapa ! Ayolah maafkan Aku. Mengapa Kau tak ingin ke sana. Ke tempat
seindah itu, warga asing saja takjub dengan keindahannya. Itu adalah karya
arsitektur yang indah.”
“ Rupanya Aku hanya buang-buang waktu denganmu. Kau
ternyata berani bermain hati. Lebih baik Ku selesaikan tesisku. Benar kata
Professor, hubungan antara laki-laki dan perempuan di luar nikah itu tak baik.
Zina kalau dalam agama. Lebih baik Aku pergi darimu. Ku sudahi semua ini.
Taksi......... taksi tolong antar Aku.”
“ Ja....... jangan pergi dulu. Aku membutuhkanmu dalam
hidupku. Aku hampa tanpamu. Maafkan Aku, bidadariku. Aku janji mengajak ke
tempat yang lebih romantis. Kau harus ingat janji Kita bersama tuk merubah
dunia.”
“ Dasar raja gombal, Aku sudah tak ingat janji itu. Bye....bye
!”
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
11.00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar